Laman

Minggu, 10 Maret 2013

Persaingan Perdagangan Bebas Indonesia - China

Implikasi dari kebijakan perdagangan bebas antara Indonesia dan China

      Pemerintah Indonesia dan China akan menetapkan tahun 2010 sebagai tahun persahabatan bagi Indonesia dan China. Hal ini ditandai dengan berlakunya perjanjian kerjasama perdagangan bebas atau yang dikenal CAFTA antara kedua negara ini. Langkah ini dilakukan setelah pada tingkat regional, ASEAN telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 ini.

    Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah atas persetujuan perjanjian perdagangan bebas tersebut, terutama dari kesiapan kalangan industri-industri dalam negeri kita, serta faktor-faktor pendukung dalam meningkatkan daya saing terhadap produk-produk China. Kemudian apakah China merupakan negara yang tepat dalam menjalin kerjasama dalam perdagangan bebas tersebut? Hal ini lah yang menjadi perhatian kalangan para industri.

    Seperti telah kita ketahui dalam praktiknya, pasar China hanya menyumbang sedikit dari rata-rata pendapatan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara itu. Pasar China hanya menyumbang kurang dari 2 persen dari penjualan peruahaan sekaliber Pfizer, Astra-Zeneca, dan Bayer. Contoh lain, Procter and Gamble (P&G), salah satu perusahaan manufaktur multinasional raksasa yang hanya mendapatkan kurang dari 5 persen dari total pendapatannya dipasar China (The Economist, 17 Oktober 2009). Praktik proteksionisme tetap terjadi di RRC, bahkan pasca tergabungnya negara itu dalam rezim perdagangan bebas WTO pada tahun 2001.

       Sampai dengan 2007, nilai impor Indonesia terhadap RRC telah mencapai 8,5 miliar dollar Amerika Serikat. Angka ini menempati urutan kedua dalam daftar Negara importer ke Indonesia. Peringkat pertama ditempati Singapura dengan nilai sebesar 9,8 miliar dollar AS, sedangkan RRC hanya menjadi tujuan terbesar keempat dalam ekspor Indonesia setelah Jepang, AS, dan Uni Eropa.
 
     Ironi masih terjadi di dalam negeri. Jika dilihat dari indeks produksi industri sedang dan besar pada triwulan I tahun 2008, hampir semua sector dalam industri manufaktur di Indonesia mengalami penurunan. Hanya ada empat sektor yang mengalami penguatan, yakni industri makanan dan minuman, indsutri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta industri furniture dan pengolahan lainnya.

       Fakta ini ditunjukkan dari melemahnya pertumbuhan kredit untuk bisnis dan individu selama bulan November 2008 ke bulan Mei 2009 dari 45 persen dan 30 persen menjadi 16 persen dan 22 persen. Pelemahan kredit ini tentu akan berdampak negatif bagi prospek industrialisasi ke depannya. Hal ini ditambah dari persentase kredit macet (nonperforming loans) mencapai 4,5 persen pada bulan Juni 2009, angka ini meningkat 0,7 persen sejak Desember 2008.

    Masuknya produk China tentu akan semakin memberikan keuntungan baginya karena konsumsi dalam negeri kita yang semakin meningkat, tetapi sekaligus menjatuhkan industri manufaktur nasional Indonesia. Padahal, dari seluruh sector ekonomi penyumbang produk domestic bruto Indonesia, industri manufaktur hingga tahun 2008 masih menempati urutan pertama dengan persentase sebesar 27,8 persen. Posisi kedua adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan persentase 14,3 persen dan posisi ketiga adalah perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 13,9 persen.

    Dari sini dapat kita lihat bahwa perdagangan bebas yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 ini akan mengancam industri dalam negeri kita. Hal ini disebabkan penandatangan perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan China tanpa melibatkan para industriwan yang merupakan aktor utama dalam persaingan tersebut.

        Penandatangan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China yang tanpa melibatkan para industriwan, sehingga kebanyakan industri-industri dalam negeri kita masih banyak yang belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut. Sungguh ironis sekali, industri-industri dalam negeri kita diajak untuk merintis dari bawah hingga tercapai perjanjian tersebut.

       Apabila kalau kita lihat dari kesiapan negara China dalam menghadapi pasar bebas tersebut, mereka sudah mempersiapkan pembangunan industrinya secara serius. Hal ini dapat kita lihat dari pembangunan infrastruktur yang sudah memadai, energi sangat mendukung aktifitas industri, serta bunga kredit yang begitu rendah jika dibandingkan di Indonesia. Bunga kredit di China bisa mencapai 4% pertahun, dan juga China pun sengaja memperlemah kurs mata uangnya serta pemberian insentif pajak terhadap industri-industri dalam negerinya. Hal ini berlawanan dengan keadaan sebenarnya di Indonesia. Ditengah gencar-gencarnya dalam menghadapi perdagangan bebas di Indonesia, pemerintah kurang memperhatikan kesiapan industri dalam negeri kita. Banyak faktor-faktor yang dianggap penting dalam mendukung daya saing produk kita yang kurang mendapat perhatian serius oleh pemerintah kita. Bunga kredit yang tinggi, infrastruktur yang masih belum memadai, serta faktor-faktor pendukung lainnya yang dianggap penting yang sangat butuh perhatian pemerintah kita dalam menyikapi hal tersebut.

         Menurut pendapat saya perjanjian perdagangan bebas antara indonesia - china  lebih banyak merugikan indonesia dibandingan menguntungkan indonesia sesuai artikel diatas hal ini dikarenakan penandatangan perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan China tanpa melibatkan para industriwan yang merupakan aktor utama dalam persaingan tersebut. Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas indonseia - china ini industri - industri di indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas tersebut. dan jika industri - industri di Indonesia belum siap maka bisa saja industri di indonesia akan kalah bersaing dengan produk produk ekspor china terlebih lagi produk dari china terkenal lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri sehingga hal ini membuat para konsumen di indonesia yang kemampuan daya beli nya rendah lebih memilih produk yang lebih murah yaitu produk yang berasal dari china jika hal ini terjadi maka lama kelamaan industri di indonesia akan gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk china. Dalam menangani hal seperti ini seharusnya pemerintah harus mengambil tindakan seperti mensosialisasikan "Cinta produk dalam negeri" karena produk dalam negeri tidak kalah dengan produk china dan juga dapat meningkatkan rasa nasionalisme rakyat indonesia.


sumber artikel :